Halaman

Jumat, 21 September 2012

Ikhlas

Dulu seperti kebanyakan orang, saya juga memiliki tujuan hidup. Tentu saja meraih keberhasilan dunia dengan paling tidak memiliki jabatan dan menjadi kaya karenanya. Tujuan yang sebenarnya cukup beralasan mengingat masa kecil saya yang selalu hidup dalam kesulitan ekonomi. Saya ingin menjadi kaya, agar orang-orang yang saya cintai akan mendapatkan kemudahan dalam melakukan apapun yang mereka inginkan, tidak seperti saya yang untuk sekedar hidup saja harus berjuang setengah mati.
Pepatah yang mengatakan bahwa hidup itu bagai sebuah roda, kadang di atas dan kadang di bawah itu ternyata benar terjadi pada saya. Dalam kehidupan, saya mengalami banyak perubahan. Terkadang memang perubahan itu baik untuk saya tapi terkadang kehidupan itu membawa saya pada perubahan yang buruk.

Suatu kali saya pernah merasakan kenikmatan dunia yang disebut harta. Harta berlimpah, apapun bisa saya beli saat itu. Saya merasakan betapa seluruh dunia ada di genggaman saya. Anehnya, saya sama sekali tidak merasa bahagia seperti dugaan saya. Yang terjadi justru sebaliknya. Keluarga saya yang selama ini memang saya utamakan akhirnya malah berubah jadi pemalas. Mereka hanya ingin meminta dan terus meminta pada saya. Adik-adik saya tak ada satupun yang bekerja atau berusaha, semuanya sepenuhnya menggantungkan hidup pada saya. Sampai lelah saya menasehati bahkan pernah saya memutuskan untuk tidak memberi uang lagi, mereka malah berhutang ke rentenir yang akhirnya terpaksa saya lunasi juga. Saya juga hampir tak punya waktu untuk menikmati kekayaan itu, karena hampir sepanjang hari waktu saya dihabiskan untuk mengejar harta itu. Bahkan ketika malam telah larut, kadang-kadang saya masih di kantor untuk menyelesaikan pekerjaan.

Saya jauh dari istri dan anak-anak saya. Ketika mereka mengajak untuk sekedar menghabiskan waktu bersama, saya selalu menganggapnya sebagai pemborosan waktu. Saya selalu menunda-nunda semua yang seharusnya bisa saya nikmati. 

Sampai kemudian, kejenuhan melanda. Saya mulai lelah dan bosan menghadapi rutinitas pekerjaan kantor yang padat. Belum lagi jenuh itu meledak, timbullah hal lain. Saya jatuh sakit,  jantung mengalami gangguan. Selama beberapa bulan, saya terpaksa beristirahat total dan berhenti bekerja. Kami sekeluarga berada pada titik terbawah dalam putaran roda kehidupan. 

Keluarga yang selama ini menggantungkan seluruh hidupnya pada saya, marah dan mulai menjauhi. Satu persatu adik-adik saya mendapat masalah tapi kali ini saya hanya bisa melihat saja. Istri saya yang selama ini hanyalah ibu rumah tangga biasa, terpaksa turun tangan dengan berdagang serabutan. Apapun dia lakukan agar empat anak kami bisa tetap bersekolah.

Antara rasa malu karena hidup ditopang oleh istri, marah karena keluarga saya tak mau membantu dan akhirnya bermuaralah kemarahan itu pada Allah SWT yang merampas segalanya dari saya.

Untunglah, kesabaran istri menghadapi semua penderitaan itu membuat saya lebih kuat. Setiap hari, dengan sabar ia mengajak saya sholat dan bersujud. Awalnya karena saya malu pada anak-anak yang begitu rajin sholat dan mengaji. Lalu tanpa saya sadar, setiap hari saya juga duduk ikut mendengarkan anak dan istri yang mengaji setelah sholat. Terkadang istri saya menjelaskan satu dua ayat pada anak-anak dan saya ikut mendengarkan.

Dalam masa-masa sulit itu, saya akhirnya menyadari satu hal setelah sering mendengar istri menjelaskan satu dua ayat pada anak-anak. Hidup di dunia bukanlah untuk mengejar kebahagiaan sejati. Kunci kehidupan adalah keikhlasan. Hidup di dunia berarti hidup dengan ujian, ujian kesenangan dunia atau ujian kesusahan dunia. Apapun yang kita jalani kunci tetap sama yaitu ikhlas. Harus tetap tawaddu saat senang dan sabar ketika susah. Kalau kita bisa memberikan keikhlasan untuk semua ujian yang kita dapat, insya Allah kita akan tahu artinya bahagia.

Sampai di situ, saya berhenti marah. Saya berusaha memaknai keikhlasan itu dengan kembali berpikir untuk melakukan sesuatu yang paling sederhana untuk keluarga. Mereka mungkin tak memerlukan saya bekerja dan mencari uang untuk mereka lagi, tapi mereka membutuhkan kehadiran saya sebagai kekuatan batin. Dengan mencoba ikhlas, saya membantu pekerjaan istri di rumah ketika ia sibuk berjualan. Ketika adik-adik saya tak mau berkunjung, saya datang ke rumah mereka untuk melihat keadaan mereka dan mulai berbicara. Awalnya memang berat, tapi saya terus berusaha sabar. Ternyata pelan-pelan apa yang saya lakukan, terlihat hasilnya. Istri jadi lebih tenang saat bekerja dan perlahan ia mulai memperlihatkan keberhasilan dalam usahanya. Adik-adik juga akhirnya mau mendengarkan nasehat saya, dan mulai mencari pekerjaan. Entah karena kasihan, atau karena akhirnya ikut tersentuh karena kata-kata saya yang tak jarang membuat mereka berurai airmata penyesalan.

Kini, kehidupan saya hampir kembali normal. Usaha istri saya sekarang sudah cukup berhasil dan sebagian digunakan untuk membuka usaha saya yang baru. Usaha yang memungkinkan saya untuk tidak terlalu bekerja keras karena jantung saya masih sangat bermasalah hingga kini. Sementara adik-adik saya sudah berpencar untuk bekerja dan sebagian telah menikah.

Saya mendapat jawaban dari kesimpulan apa yang saya dapat dari mencoba agar ikhlas ketika mendapatkan ujian. Ketenangan. Sesuatu yang tak pernah saya dapatkan sebelumnya. Ketenangan lahir dan batin.

Kebahagiaan yang ingin saya rasakan ternyata asalnya bukan dari harta atau barang yang saya miliki, tapi justru berasal dari orang-orang di sekitar saya. Saya bahagia karena senyum istri saya ketika melihat saya melakukan sesuatu untuknya, saya bahagia ketika melihat anak-anak tertawa karena saya hadir untuk mereka dan saya bahagia ketika melihat orang-orang di sekeliling saya berterima kasih karena saya memberi mereka petunjuk dan bantuan berdasarkan pengalaman saya di masa lalu, berbagi keberhasilan yang dulu pernah saya raih. Itulah bahagia yang sesungguhnya selama ini saya cari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar