Dulu seperti kebanyakan orang, saya juga memiliki tujuan hidup. Tentu saja meraih keberhasilan dunia dengan paling tidak memiliki jabatan dan menjadi kaya karenanya. Tujuan yang sebenarnya cukup beralasan mengingat masa kecil saya yang selalu hidup dalam kesulitan ekonomi. Saya ingin menjadi kaya, agar orang-orang yang saya cintai akan mendapatkan kemudahan dalam melakukan apapun yang mereka inginkan, tidak seperti saya yang untuk sekedar hidup saja harus berjuang setengah mati.
Suatu kali saya
pernah merasakan kenikmatan dunia yang disebut harta. Harta berlimpah,
apapun bisa saya beli saat itu. Saya merasakan betapa seluruh dunia ada
di genggaman saya. Anehnya, saya sama sekali tidak merasa bahagia
seperti dugaan saya. Yang terjadi justru sebaliknya. Keluarga saya yang
selama ini memang saya utamakan akhirnya malah berubah jadi pemalas.
Mereka hanya ingin meminta dan terus meminta pada saya. Adik-adik saya
tak ada satupun yang bekerja atau berusaha, semuanya sepenuhnya
menggantungkan hidup pada saya. Sampai lelah saya menasehati bahkan
pernah saya memutuskan untuk tidak memberi uang lagi, mereka malah
berhutang ke rentenir yang akhirnya terpaksa saya lunasi juga. Saya juga
hampir tak punya waktu untuk menikmati kekayaan itu, karena hampir
sepanjang hari waktu saya dihabiskan untuk mengejar harta itu. Bahkan
ketika malam telah larut, kadang-kadang saya masih di kantor untuk
menyelesaikan pekerjaan.
Saya jauh dari
istri dan anak-anak saya. Ketika mereka mengajak untuk sekedar
menghabiskan waktu bersama, saya selalu menganggapnya sebagai pemborosan
waktu. Saya selalu menunda-nunda semua yang seharusnya bisa saya
nikmati.
Sampai kemudian,
kejenuhan melanda. Saya mulai lelah dan bosan menghadapi rutinitas
pekerjaan kantor yang padat. Belum lagi jenuh itu meledak, timbullah hal
lain. Saya jatuh sakit,
jantung mengalami gangguan. Selama beberapa bulan, saya terpaksa
beristirahat total dan berhenti bekerja. Kami sekeluarga berada pada
titik terbawah dalam putaran roda kehidupan.
Keluarga yang
selama ini menggantungkan seluruh hidupnya pada saya, marah dan mulai
menjauhi. Satu persatu adik-adik saya mendapat masalah tapi kali ini
saya hanya bisa melihat saja. Istri saya yang selama ini hanyalah ibu
rumah tangga biasa, terpaksa turun tangan dengan berdagang serabutan.
Apapun dia lakukan agar empat anak kami bisa tetap bersekolah.
Antara rasa malu
karena hidup ditopang oleh istri, marah karena keluarga saya tak mau
membantu dan akhirnya bermuaralah kemarahan itu pada Allah SWT yang
merampas segalanya dari saya.
Untunglah,
kesabaran istri menghadapi semua penderitaan itu membuat saya lebih
kuat. Setiap hari, dengan sabar ia mengajak saya sholat dan bersujud.
Awalnya karena saya malu pada anak-anak yang begitu rajin sholat dan
mengaji. Lalu tanpa saya sadar, setiap hari saya juga duduk ikut
mendengarkan anak dan istri yang mengaji setelah sholat. Terkadang istri
saya menjelaskan satu dua ayat pada anak-anak dan saya ikut
mendengarkan.
Dalam masa-masa
sulit itu, saya akhirnya menyadari satu hal setelah sering mendengar
istri menjelaskan satu dua ayat pada anak-anak. Hidup di dunia bukanlah
untuk mengejar kebahagiaan sejati. Kunci kehidupan adalah keikhlasan.
Hidup di dunia berarti hidup dengan ujian, ujian kesenangan dunia atau
ujian kesusahan dunia. Apapun yang kita jalani kunci tetap sama yaitu
ikhlas. Harus tetap tawaddu saat senang dan sabar ketika susah.
Kalau kita bisa memberikan keikhlasan untuk semua ujian yang kita
dapat, insya Allah kita akan tahu artinya bahagia.
Sampai di situ,
saya berhenti marah. Saya berusaha memaknai keikhlasan itu dengan
kembali berpikir untuk melakukan sesuatu yang paling sederhana untuk
keluarga. Mereka mungkin tak memerlukan saya bekerja dan mencari uang
untuk mereka lagi, tapi mereka membutuhkan kehadiran saya sebagai
kekuatan batin. Dengan mencoba ikhlas, saya membantu pekerjaan istri di
rumah ketika ia sibuk berjualan. Ketika adik-adik saya tak mau
berkunjung, saya datang ke rumah mereka untuk melihat keadaan mereka dan
mulai berbicara. Awalnya memang berat, tapi saya terus berusaha sabar.
Ternyata pelan-pelan apa yang saya lakukan, terlihat hasilnya. Istri
jadi lebih tenang saat bekerja dan perlahan ia mulai memperlihatkan
keberhasilan dalam usahanya. Adik-adik juga akhirnya mau mendengarkan
nasehat saya, dan mulai mencari pekerjaan. Entah karena kasihan, atau
karena akhirnya ikut tersentuh karena kata-kata saya yang tak jarang
membuat mereka berurai airmata penyesalan.
Kini, kehidupan
saya hampir kembali normal. Usaha istri saya sekarang sudah cukup
berhasil dan sebagian digunakan untuk membuka usaha saya yang baru.
Usaha yang memungkinkan saya untuk tidak terlalu bekerja keras karena
jantung saya masih sangat bermasalah hingga kini. Sementara adik-adik
saya sudah berpencar untuk bekerja dan sebagian telah menikah.
Saya mendapat
jawaban dari kesimpulan apa yang saya dapat dari mencoba agar ikhlas
ketika mendapatkan ujian. Ketenangan. Sesuatu yang tak pernah saya
dapatkan sebelumnya. Ketenangan lahir dan batin.
Kebahagiaan yang
ingin saya rasakan ternyata asalnya bukan dari harta atau barang yang
saya miliki, tapi justru berasal dari orang-orang di sekitar saya. Saya
bahagia karena senyum istri saya ketika melihat saya melakukan sesuatu
untuknya, saya bahagia ketika melihat anak-anak tertawa karena saya
hadir untuk mereka dan saya bahagia ketika melihat orang-orang di
sekeliling saya berterima kasih karena saya memberi mereka petunjuk dan
bantuan berdasarkan pengalaman saya di masa lalu, berbagi keberhasilan
yang dulu pernah saya raih. Itulah bahagia yang sesungguhnya selama ini
saya cari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar